ya
Allah tahukah Engkau?
Aku lelah.
Setiap hari aku
berusaha keras menjalani perkuliahan. Siang hari saat terik matahari tepat di
atas kepala aku memulai aktivitas rutin itu. Kala hujan turun aku rela basah
kuyup. Jika sudah terjebak kemacetan di kota ini aku harus berusaha bersabar. Datang dan pulang dari kampus
berdesak-desakan dengan para pekerja dan anak-anak sekolah. Suasana pengap,
panas dan bising selalu setia menemani di bus kota itu. Para pengamen dan anak-anak jalanan lalu lalang di dalam
bus. Tak sedikit seorang ibu tua dengan anak kecilnya yang merintih meminta
uang. Anak-anak jalanan itu naik dan turun berganti dari bus satu ke bus yang
lain untuk mengais uang recehan. Walaupun hujan deras mengguyur mereka tetap
menjalani itu semua. Aktivitas mereka di jalanan sudah menjadi hal biasa dan
juga karena tuntutan hidup yang semakin banyak. Mereka juga tak ingin seperti
itu namun tak ada pilhan lain. Kalau sehari saja mereka tak meminta-minta
mereka tak bisa makan hari itu. Sungguh tragis keadaan anak-anak Indonesia yang
seharusnya mereka bermain-main dengan kawannya dan duduk di bangku sekolah.
Tetapi inilah yang harus mereka lakukan. Mungkin sudah tak ada harapan untuk
bersekolah. Bisa merasakan sesuap nasi saja sudah menjadi kebahagiaan.
Setiap hari aku berpikir keras
demi suatu kesuksesan. Tenaga ku terenggut untuk menjalani perjuangan ini. Setiap
hari aku bergelut dengan buku. Aku berusaha melawan rasa malas dan gundah yang
menghadang. Raga ini ingin protes kalau ia sudah tak kuat lagi. Otak ku
bereaksi ingin menghentikan ini semua. Tapi hati ku menolaknya dan tidak
membenarkan. Akalku mengatakan bahwa ini harus dilanjutkan walau pahit getir
yang dirasa. Belum lagi celotehan orang sekitar yang tidak mengerti keadaanku.
Mereka hanya dapat berkomentar tanpa mempedulikan perasaan ku. Dan juga suasana
rumah yang tidak mendukung bahkan membuat suasana hati semakin panas. Ya Tuhan
maaf jika selama ini aku terlalu banyak mengeluh atas segala kekurangan ku. Aku
selalu merasa kurang puas atas nikmat Mu. Aku kadang merasa putus asa dengan
aktivitas rutin ini. Namun tak mungkin juga jika aku mundur. Sudah terlalu jauh
aku melangkah.
Kepada siapa aku harus
meluapkan letupan-letupan kekesalan ini? Di rumah ini tak ada satu pun orang
yang tepat untuk mencurahkan perasaan ku. Aku membutuhkan seseorang untuk mengendalikan
pribadi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar